Sabtu, 09 Januari 2010

2 bayang-revisi Kegundahan Nitya


Untuk Ukhti Nitya

Assalamu’alaykum Ukhti..

Kaifa khaluk Ukhti?? Semoga kau selalu dalam naungan cintaNya..

Ukhti, maaf aku tlah lancang melayangkan surat ini untukmu diantara tumpukan buku-bukumu. Aku tak kuasa untuk menatapmu dan berbicara langsung denganmu.
Sebelumnya perkenalkan namaku, Rama. Lengkapnya Ramadhan Syah. Kau akan semakin bertanya siapakah aku sebenarnya. Aku seorang yang selalu kagum atas sentuhan penamu yang rutin kau kirimkan pada redaksi kami. Aku selalu menengok pojok kanan bawah dalam tiap syairmu bertuliskan NITYA ASMARA, semenjak itulah aku selalu mencari tahu siapakah dirimu. Dan Alhamdulillah atas ijin Allah aku tahu siapa Sang Nitya dan yang mana seorang Nitya. Seringkali aku mencuri pandang terhadapmu dan diam-diam aku mengikutimu hanya untuk tahu siapakah dirimu. Pertama kali kita bertatap muka aku ingat saat itu tertanggal 7 juni 2007 di koridor kampus lantai 2 ketika aku menempelkan poster pelatihan jurnalis di mading pojok koridor lantai itu. Tak sengaja aku menabrakmu. Apakah kau mengingatnya ukhti?? Jika kau ingat itulah aku Rama yang sebenarnya tlah jatuh cinta padamu melalui syair-syairmu. Suatu ketidak berdayaanku kala itu dengan berbagai rasa yang campur aduk. Jantungku berdegup kencang sekali serasa tak mau menempel lagi pada tubuhku. Subhanallah Ukhti... hatiku bergetar..
Ukhti, aku ingin mengenal lebih dekat dirimu. Apakah kau berkenan?? Jika berkenan, cukup balaslah surat ini dan letakkan di sela loker yang ada di depan ruang redaksi kampus..

Syukron ya Ukhti atas kesediaanmu meluangkan waktu untuk membaca guratan pena hatiku ini.
Semoga Allah selalu berikan bimbingan untuk kita dan semoga cinta kita kepadaNya tak redup...
Maaf atas kelancanganku…
Jazakillah....

Wassalamu’alaykum…
Rama








Surat pertama Rama untukku 10 Juni 2007,






Rama dalam surat terakhirnya untukku pertengahan September 2007

Ukhti Nitya dalam pesona jilbabnya..

Assalamu’alaykum ukhti..
Sembilan balasan surat darimu tlah aku terima, jika kau membalas surat yang ini maka genaplah menjadi yang kesepuluh bagiku.
Ya Ukhti.. aku semakin tahu tentang dirimu walau hanya dalam barisan alphabet yang kau layangkan padaku. Aku tak kecewa perkenalan dan pendekatan kita hanya dengan bersurat seperti ini. Aku hargai keputusanmu untuk saling tahu satu sama lain dengan cara seperti ini. Ukhti.. Satu bulan lagi kita akan lulus kuliah. Aku ingin setelah lulus nanti mendapatkan seorang wanita yang bisa kujadikan pendamping hidupku.
Ukhti, tanpa banyak kata lagi dengan merendahkan segala apa yang ada pada diriku.. “Maukah kau menjadi pendamping hidupku?”.
Jika iya, aku akan meminta kedua orang tuaku untuk meminang dirimu secepatnya. Aku ingin menjadikanmu sebagai permaisuri hatiku Ukhti..

Aku tunggu balasan surat kesepuluhmu di tempat biasa..
Afwan..
Jazakillah...


Wassalamu’alaykum..
Yang menginginkanmu, Rama




























.......................................................Kala matahari berpendar bulan Agustus 2009..

“Assalamu’alaikum..” ucap tamu itu di balik pintu.
“Wa’alaykumsalam...” kujawab salam dari jauh bergegas mengintip siapa yang datang..
Aku intip jendela rumahku dengan membuka gorden hijau, dan ternyata seorang pria separuh baya datang mengenakan baju batik dan peci di kepalanya datang dengan senyum sumringah hentakkan septu kulitnya bersama seorang pria muda yang tak aku kenal mengenakan batik madura bersepatu hitam mengkilat.
Kubukakan pintu rumah dan bertanya, “Maaf, bapak mencari siapa???”
Pria separuh baya pun menjawabnya, “ Ini rumahnya Bapak Achmad?”
“Iya pak, betul. Beliau ayah saya.”
“Bapak Achmad nya ada mbak?”
“Oh ada Pak, sebentar ya.. silahkan masuk terlebih dahulu. Saya akan panggilkan.” Senyumku hantarkan ia masuk dalam bilik rumahku dan mempersilahkan mereka duduk.
Bergegasku menuju kamar ayah dan mengetuk pintu kamarnya, “Ayah... Ayah... Wonten tamu..”
Terdengar suara putaran kunci pintu kamar ayah yang akan membuka pintu, “Opo cah ayu??”
“Mekaten yah, wonten tamu madosi ayah..”
“Sopo nduk??”
“Mboten sumerap yah.. Priyantune sepah kok yah kaliyan priyantun kakung sing guanteng yah. Hehehe” Candaku pada ayah.
“Guantenge koyo opo to nduk, kok awakmu nganti bungah banget. Palingan yo nggantengan ayahmu iki.” Ucap ayah dengan PD-nya sembari tertawa gelengkan kepalanya.
“Nggak kok yah, tenan ki nggantenge puoll yah.... Te O Pe deh.”

Begitulah keseharianku dengan ayah, sering sekali bercanda dan curhat- curhatan tentang apa yang kami rasakan. Menurutku ayahku adalah idolaku. Dia benar-benar ayah paling hebat. Dia selalu ada kala kubutuh dia.

Ibuku tlah meninggalkanku setahun lalu, ibuku pergi bersama lelaki lain. Ibuku meninggalkan kami karena kerja ayah yang hanya seorang guru di sekolah swasta. Ibuku tak tahan dengan hidup Aku sempat marah kala itu, bisa-bisanya ibuku mencintai lelaki lain setelah ia menikah dengan ayahku. Namun, ayah sadarkanku, tak sedikitpun ayah marah pada ibuku, ayah memberiku banyak nasihat bahwa bagaimanapun juga beliau adalah ibuku, ibu yang melahirkanku, menyusuiku, merawatku, menimangku walau sampai sekarang aku tak tahu di mana keberadaan ibuku, aku tetap merindukan ibu. Aku tetap sayang ibu.. Ibu.. aku merindukanmu.. merindukan belaianmu.. Di usia 24 tahunku aku tetap merindukan ibu.

***



“Cah ayu...” panggil ayah dari ruang tamu.
“Dalem yah...” Gegasku dengan membawa 3 cangkir teh hangat untuk 2 tamu dan ayahku.
“Dalem yah.. ayah nimbali kulo??”
“Iyo nak... lenggaho kene..” perintah ayah padaku.
Sungguh aku malu, aku dirundung malu.. Aku malu nanti kalo aku salting alias salah tingkah karena wajah pria itu ngganteng. Nggantenge poll. Hehehe.

“Oh... ini to pak putri bapak yang belum menikah itu..”tanya pria separuh baya itu.
“Iya pak... ini anak saya yang kedua. Yang setia menemani saya hingga 24 tahunnya. Anak saya yang pertama sudah berumah tangga dan sekarang dibawa suaminya merantu di Malang. Insya Allah besok mereka pulang ke rumah.” Cerita ayah panjang lebar.

Begitulah orang tua, ditanya A tapi jawabnya A sampai Z. Astaghfirullaahal’adziim... *nggak baik suudzon ma orang tua. .

“Cah ayu... kenalkan, ini atasan ayah dan ini putra tunggalnya.”
Sedikit senyum kuberikan untuk menyapa 2 tamu ayah itu..
“Ayo cah ayu.. kenalkan dirimu...” ucap atasan bapak itu.
“Wuaduh... sepuntene mawon pak sakderenge.. saya harus kenalkan yang bagaimana ya??” tanyaku dengan pura-pura tidak tahu maksudnya..
“Wuallah nduk.. nduk... ya kenalkan saja namamu saja.. kami kan belum tau..” jawab atasan ayah itu.
“Mmmm.. Dalem Nitya.. Nitya Asmara Dewi” ucapku tersipu malu pada semua yang ada di ruang tamu itu.
“Wah namanya bagus ya pak ya... seperti orangnya..” kata pak atasan itu pada ayahku.
“Nitya itu arti dari sepengetahuan saya dulu 24 tahun lalu baca di koran itu artinya tidak ada putusnya. Asmara sendiri ya saya berharap hatinya selalu berasmara ya maksudnya biar hatinya bahagia kan kalo orang lagi dilanda asmara hatinya kan sumringah terus pak... Dewi ya biar cantiknya sepertinya bidadari dari kahyangan.” Tutur ayah pada tamu itu.

Tamu itu tertawa geli dengarkan tutur ayah yang gelitik suasana. Begitulah ayah, senang sekali membuat orang tertawa..

“Nah le... sekarang kamu gantian kenalkan dirimu..” logat jawa ayah semakin nampak saja saat berkata pada pria muda itu.
Pria itu senyum, “ nama saya Adyatma Muhammad, panggil saja saya dengan nama Tama.”
Perbincangan kami mengalun pada waktu. Sampai tak terasa waktu dhuhur tlah tiba. Ayah dan atasannya yang bernama Pak Sholeh itu terus saja bersenda gurau pada siang hingga akhirnya Pak Sholeh mengutarakan maksud kedatangannya.

“Pak.. nuwun sewu nggih.. sakderenge.. Mungkin saya lancang bertanya ini karena tak bertanya kepada bapak dari kemarin-kemarin sebelum datang ke sini.” Ucap Pak Sholeh dengan tangan meremas di atas pangkuannya menampakkan sedikit grogi.
Kening ayah semakin berkerut saja ketika Pak Sholeh membawa suasana semakin serius. Aku pun yang ada di samping ayah ikut cucurkan keringat dingin hanya karena sepatah dua patah kata dari Pak Sholeh.
“Ada apa tho Pak Sholeh, bilang saja sama saya.”
“Begini Pak.. Anak saya Tama bulan depan harus pergi ke India untuk melanjutkan S-2 nya. Dan Tama ingin pergi ke India bersama istrinya. Namun, hingga saat ini kami belum mempunyai calon untuk kami nikahkan karena Tama inginnya saya yang mencarikan seorang istri untuknya. Begitu Pak..” Tutur Pak Sholeh dengan sering tundukkan kepala karena merasa malu pada ayah.
Tama tersipu malau akan ucap ayahnya itu. Dia sering sekali minum tah hangat yang aku suguhkan tadi.
“Lalu.. hubungannya dengan saya apa Pak?? Apa bapak meminta saya untuk mencarikan seorang calon untuknya??” tanya bapak sedikit meragu.
“Bukan Pak.. Sejujurnya saya tertarik cerita bapak tentang Sang Putri yang setia menemani bapak hingga kini ketika di pelataran tempat kerja kita. Apakah Nak Nitya yang bapak maksud??” terang Pak Sholeh secara blak-blakan.
Aku yang ada di tengah-tengah mereka saat itu terperangah kejut akan ucap Pak Sholeh.

“Haduh haduuuh.... bakalan dijodohin nie.. aku kan nggak mau ada perjodohan.. Aku semakin takut saja saat ini, takut kalau ayah akan berkata iya tanpa meminta persetujuanku. Aku semakin gundah gulana karena aku memendam cinta 2 tahun silam dan tak kuutarakan hingga kini aku benar-benar tak bertemu dengannya. Aku yang 2 tahun memendam cinta hingga kini tetap saja aku sendiri karena aku menanti dia, berharap bertemu dia kembali entah di mana. Namun sepertinya itu hanya harapanku saja. Aku tidak tahu kabar dia sekarang, apakah sudah mempunyai istri atau belum. Tapi mengapa aku tetap menunggu?? Menunggu suatu ketidakpastian.” Gumam yang begejolak dalam hati sembari meremas-remas tangan yang terpangkukan danmulai dingin.

Ayah terdiam sejenak menatapku yang sedari tadi tundukkan kepala dan berkata, “Oh... gitu toh pak..”

Jantungku semakin berdegup kencang saja, takut ayah salah bicara yang mengakibatkan aku harus menikahi Tama dengan sebuah buku nikah dan kata sah saja tak disertai keyakinan hati dari Nya.
Ayah angkat bicara, “Saya tahu maksud bapak, tapi maaf pak, saya tidak bisa menjawab sekarang karena saya harus berbicara sendiri dulu dengan Nitya ini. Apakah bapak dan Nak Tama mau menunggu?? Karena saya tidak ingin putra-putri kita menikah tidak dengan keyakinan. Untuk masalah cinta biar mereka saja yang tahu. Yang penting bagi saya sebagai orang tua cukup mengarahkan saja karena ingin mereka bahagia. Nggih tho Pak??”
“Le, awakmu gelem ngenteni jawapane kan Le..” tanya Pak Sholeh pada Tama.
Tama tak angkat bicara hanya memberi isyarat menganggukkan kepala.
“Alhamdulillah Pak, Tama bersedia menunggu. Minggu depan saya ke sini apakah bisa untuk mendapatkan jawaban??” tawar Pak Sholeh masalah waktu.
“Gimana Cah Ayu?? Apa kamu bisa menjawab semua dalam waktu seminggu??” tanya bapak padaku.
Akupun hanya menjawab, “Insya Allah Yah...”
Setelah pembicaraan itu, Pak Sholeh dan putranya itu bergegas pulang seraya pamit pada kami.

***
......................................................Senjakala menanti gema Adzan di teras rumah....
Seperti biasa, aku menyuguhkan Teh Cinta untuk ayahku. Teh Cinta, ayah yang memberi nama itu. Karena ayah sangat mencintaiku dan akupun membuatnya dengan cinta. 
Sembari menyemil pisang goreng yang telah aku beli di warung depan setelah ashar tadi, ayah bertanya padaku. “Nduk, menurutmu tadi gimana Nduk??”
“Tentang apa yah?? Tentang yang Pak Sholeh bilang tadikah???”
“Iya Nduk, Kalau ayah sih sekarepmu. Mau pilih dia atau tidak. Apa kamu sudah punya calon sendiri Nduk?? Nggak apa-apa kalau ada bilang saja sama ayah. Jadi ayah nanti bisa bilang sama Pak Sholeh dan Nak Tama.” Tutur ayah memberi kelegaan padaku.
“Yah, boleh Nitya beristikharoh dulu, supaya Nitya yakin akan keputusan Nitya.”
“Boleh Nduk, silahkan. Ayah suka malah kalau kamu sholat. Setidaknya kamu pilih tidak karena paksaan orang lain tapi karena keyakinan.” Nasihat ayah padaku.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi apa yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat peruntungan” jelas ayah padaku.
Aku semakin tahu tentang makana Istikharoh dan aku semakin mantap untuk lakukannya.
“Cah Ayu.. apa ayah boleh bertanya?? Apa ada pria lain yang kamu sukai nduk???”
Aku bingung menjawab apa. Aku berkata tidak berarti aku membohongi ayah. Berkata iya tapi malu pada ayah. Haduuuh.. gimana ya...Aku bingung harus berkata apa pada ayah.
“Mmmmmm... kok ayah tanyanya gitu toh??”
“yo ora opo-opo toh nduk yen ayah takon, ayah kan juga pengen tahu perasaanmu kuwi sakjane kanggo sopo???”
“Kagem ayah mawon pun.. Tya kan sayang ayah..” peluk hangatku pada ayah yang aku cintai.
“Weladalah.. Anakku rek... Ayah ini serius loh nak tanya sama kamu. Ayah juga ingin merasakan apa yang kamu rasakan.” Ujar ayah padaku sedikit kesal karena aku yang selalu alihkan pembicaraan.
“Hehehehehe. Udah yah.. jangan marah.. Sabar.. sabar.. kalo ayah marah Tya nggak kasih tau loh ya?? Hehehe” candaku pada yah.
Ayah timpuk kepalaku sembari berkata, “kamu itu ya.. beda sekali sama kakakmu Nadya. Nadya kalem kok awakmu slenge’an ngene toh Nak. Hehehe.”
Gelak tawa ayah melihat sikapku dan menanti jawaban sesungguhnya dariku.
“Mmmm, gini loh yah. Tya ingin sedikit cerita sama ayah.”
Wajah ayah semakin serius menatapku dan seakan tak sabar menunggu ceritaku.
“2 tahun lalu saat Tya jaman-jamannya kuliah ada seorang pria yang mengutarakan maksud hatinya ke Tya melalu surat Yah.. Dia bernama Rama. Hingga surat terakhir yang dia kirim untuk Tya dengan maksud agar Tya mau jadi pendamping hidupnya setelah dia lulus, namun Tya tak membalas surat terakhirnya itu.”
“Loh kenapa?” potong ayah padaku.
“Karena Tya takut waktu itu. Takut tidak bisa menjaga anugerah Nya yang berupa cinta itu terhadap Rama.” Tegasku pada ayah.
“Lah terus.. sekarang..??” kejar ayah akan penasarannya.
“Sekarang Tya tidak tahu dia ada di mana. Tya juga tidak tahu kabar dia apakah dia sudah menikah apa belum. Sejujurnya jika Tya dulu membalas surat terakhirnya, mungkin Rama dan orang tuanya sudah melamar Tya. Padahal hati Tya saat itu sebenarnya berkaata iya. Akibatnya Tya hingga saat ini memikirkannya.” Ceritaku pada sandaran pundak ayah sembari tangis bercucur basahi pijak senja kini.
Ayah usap kepalaku dan cium kepalaku dengan hangat..
“Wes Cah ayu.. jangan nangis lagi. Ayah tahu bagaimana gundahmu saat ini. 2 tahun waktu yang cukup lama memendam rasamu. Sekarang ayah tau kenapa kamu sering sekali menolak lamaran dari pria yang ingin mengkhitbahmu. Kini ayah tahu nduk.. Maafkan ayah karena ayah sering sekali jengkel sama kamu karena kamu sering sekali nolak tanpa sebab dan alasan selalu tidak mantap. Ayah jengkel bukan karena ayah tidak sayang justru ayah sayang, ayah khawatir akan kamu sebagai perempuan. Yang semakin lama semakin tambah usia dan semakin kamu tambah usia kamu itu bagaikan cabe yang semakin lama semakin kisut. Semakin kisut cabe semakin orang enggan untuk membeli. Ayah khawatir nak sama kamu.. Maaf ya nak ya... Maaf nak..”Ayah teteskan air mata pula temani senjaku.
“Sekarang sudah maghrib, kamu berdoa saja pada Allah. Semoga kamu diberi ketetapan hati pada siapa hatimu kan bertaut. Ayah tidak bisa memaksamu untuk menikah dengan Tama tapi ayah tidak mau kamu menanti sesuatu yang semu yang kamu tidak tahu keberadaanya. Kalau kamu memang tahu di mana dia sekarang, ayah siap lamarkan dia untukmu karena tidak ada larangan dalam agama untuk pihak wanita melamar pria tapi dengan syarat pria itu sholeh dan baik agamanya.” Jelas ayah padaku.
Bergegaslah kami tinggalkan teras dengan petangnya, kami segerakan wudhu dan sholat berjamaah.
***

Hening pada sepertiga malam, kuberharap yakin pada sujud. Menangkupkan doa untuk Sang Illahi agar cinta Sang Illahi tetap bernaung padaku dan agar Ie beri keyakinan aka hatiku..
Kucurahkan apa yang ada dalam hatiku. Ku tak malu-malu lagi pada Nya untuk menangis, mengaharap pada Nya dan hanya pada Nya. Karena Hanya Dia Yang Maha memberi petunjuk.
Malam ini hanya ada Dia dan aku di sini. Beradu dalam doa dan harap petunjuk dari Dia.
***

Tak hanya satu malam kumunajahkan pinta pada Nya. Aku seolah bagai wanita yang tlah dikejar waktu saja. Waktu seminggu harus sudah mendapat balasan. Untung saja aku nggak lagi DPT, kalau lagi DPT pasti deh akan kutolak mentah-mentah waktu seminggu itu. Hehehe.

***

Hingga kini malam ke-7 aku panjatkan doa dalam istikharohku, aku belum juga mendapat keyakinan akan apa yang harus kuputuskan siang nanti saat Pak Sholeh datang ke rumah. Ya Allah... apa yang harus kujawab nanti ketika mereka bertanya bagaimana permintaannya??? Aku bingung YA Allah.. Sungguh aku bingung. Aku dilanda gundah, resah selimuti kalbuku hari ini. Degup jantung tak henti-hentinya beralur cepat sekali seperti dikejar sesuatu. Untuk mengambil keputusan ini ternyata lebih susah daripada memilih jurusan kuliah dulu. Hiks hiks hiks...
Aku berbicara sendiri pada sepertiga malam terakhir dalam seminggu yang tlah lalu.
YA Allah... berikan aku petunjuk... Tunjukkanlah padaku, berilah aku keyakinan akan hatiku YA Allah walau keyakinan itu masih sedikit adanya.
YA Allah... Mengapa hingga kini Kau belum juga berikan setitik keyakinan padaku YA Allah...
Engkau yang belum beri petunjuk atau aku yang bodoh akan memaknai semua ini YA Allah.. Apa aku tidak tahu akan petunjuk yang telah Kau berikan YA Allah...
YA Allah... mengapa aku belum yakin akan jawaban apa yang harus aku lontarkan pada ayah, Pak Sholeh dan Tama??? Ya Allah... Aku mohon... aku mohon dengan sangat. Dengan sangat aku memohon pada MU YA Allah... Aku mohon...

***
Lonceng jam terdengar telah 10 kali....

Terdengar ketukan pintu dan salam dari pagar rumahku, ku intip dan ternyata Pak Sholeh dan Tama datang bersama seorang wanita ber-abaya putih berjilbab dan dengan sampiran putih melilit di lehernya tutupi bahunya.
Siapa wanita itu?? Tanyaku dalam hati.
Apakah ibunya?? Tebakku.
Maluku untuk membuka pagar rumah dan sedikit takut, gugup, bimbang karena keyakinan belum datang juga hingga detik ini. YA Allah... bantulah aku... sebaik-baik siapa yang pantas dimintai pertolongan hanyalah diri MU YA Rabb... Bantulah aku. Tunjukkan jalanku... Aku kini perempuan yang sedang gamang..
Kupanggil ayah dan mengajaknya untuk menemaniku membuka pintu. Ayah pun bergegas menuju pagar dan aku ikuti ayah beriringan.
“Assalamu’alaykum Pak Achmad...” salam Pak Sholeh diikuti senyum sumringah dari bibirnya.
Wanita dan Tama memberi senyum untuk kami pula.
“Wa’alaykumussalam Pak Sholeh...” sembari bukakan gembok yang mengunci pagar rumah.
Aku dan ayah mempersilahkan masuk dan mengajak tamu-tamu itu untuk bersanding di ruang tamu. Gegasku permisi untuk membuatkan orange squash karena cuaca siang ini sangat terik.
Orange squash tlah siap kusuguhkan. Namun aku terhenti pada foto bersama teman seangkatanku pada saat yudisum 2 tahun lalu yang kupajang dalam bingkai dekat tangga menuju kamarku. Aku terhenti sejenak dan aku menatap Rama, Rama yang dulu pernah mencintaiku dan akupun memendam cinta untuknya. Air mata tak sengaja menetes karena berandai dulu jika aku menerimanya dan langsung menikah dengannya pasti aku tak bimbang lagi saat ini.
Aku hapus air mataku, jangan sampai ayah tahu akan hal ini. Pasti ayah ikut sedih jika melihat aku menangis. Nampan yang kubawa bersama orange squash, kubawa dengan perasaan yang nggak karuan. Aku membawa dengan keraguan dan tidak ada keyakinan akan jawaban apa yang harus aku lontarkan ketika mereka bertanya padaku.

Kusuguhkan orange squash pada Pak Sholeh dan aku duduk di samping ayah. Pak sholeh pun perkenalkan bahwa wanita yang dibawanya adalah ibunda dari Tama sendiri. Ibunya sengaja datang karena hanya ingin tahu kejwlasan jawaban yang kulontarkan.
Tama terus saja tersenyum sembari malu tundukkan kepala seakan dia tahu apa jawaban yang terlontar dariku.
Pak sholeh pun langsung membuka pembicaraan dalam beranda ruang tamuku. Dinding dan teriknya matahari kan jadi saksi apa yang kujawab siang ini.
“Pak Achmad.. bagaimana tentang perbincangan kita minggu lalu?? Apakah sudah ada jawaban??” tanya Pak Sholeh pada ayah.
Ayah pun menjawab, “biarkan Nitya yang akan jawab semuanya. Jujur pak, saya tidak tahu menahu tentang apa yang akan Nitya jawab, semua saya serahkan kepada Nitya karena dia sangat berhak untuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya dan memilih siapa yang menjadi tambatan hatinya.”
Pak Sholeh dan Ibu pun menganggukkan kepala atas apa yang dikatakan ayah. Ibu Tama menatapku dengan penuh harap. Tama pun tundukkan kepala pejamkan mata seakan berharap. Ayah tertegun menanti jawabanku. Pak Sholeh pun bungkukkan badan ke depan dan tetap menanti jawabanku.
Aku semakkin bingung, gamang, takut akan apa yang akan aku katakan. Aku takut jawabanku tak sesuai ingin mereka dan menyakiti hati mereka.
Ayah menggenggam tanganku, beliau tahu inginku. Aku ingin ketenangan menjawab dengan sebuah genggaman tangan ayah. Itu yang biasa dilakukan ibuku dulu ketika aku gundah. Ayah tahu sekali inginku...
Sedikit kutenang dan memulai untuk berkata tentang apa yang harus kukata di siang ini. Ibu Tama menatapku semakin tajam dan penuh harap, semakin aku melihat Ibu Tama aku semakin ingat Ibuku sendiri. Ibu yang tlah tinggalkan aku dan ayahku..
Aku tak kuasa melihat tatapan Ibu Tama, aku tak kuasa hancurkan ingin harapnya. Akuy tak kuasa sekali. YA Allah.. Kaulah pemilik hati dan hanya Kau yang membolak-balikkan hati.. Aku mohon YA Allah.. yakinkan hati ini...
5 menit berlalu hanya dengan saling pandang dan menanti jawabanku yang pasti. Aku pun hingga kini belum rasakan keyakinan untuk memilih Tama atau siapa.
Ibu Tama pun angkat bicara, “Nak, ayo katakan jawabanmu. Ibu menunggu jawanmu!!”
Setelah Ibu berkata, aku merasakan tak kuasa untuk sakiti hatinya. Aku tak ingin membuatnya kecewa karena jika aku melihatnya aku merasa dia ibuku.
“Baiklah saya akan jawab, saya mohon apapun jawaban saya, saya mohon kepada semuanya untuk tidak menanyakan menagapa saya menjawab itu, saya mohon jangan tanya alasan apa yang mendorong saya untuk menjawab itu.” Ujarku seraya tundukkan kepala karena tak berani menatap ibu Tama.
“Bismillahirrokhmaanirrokhiim.. Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang, saya... saya.....” terhenti kuhela nafas untuk jawaban yang sangat penting untuk hidupku.
“Saya apa Cah ayu..?” kejar ayah akan jawabku.
“Kapan pernikahan akan dilangsungkan??” jawabku dengan menatap keluarga Pak Sholeh.
“Berarti kamu mau Nak.?”tanya Pak Sholeh yakinkan ucapku.
Aku hanya anggukkan kepala dan menggenggam erat lagi tangan ayah, ayah menangis setidaknya tanggung jawabnya untuk menikahkan anaknya sudah tuntas.
Syukur terlontar dari bibir Ibu Tama, Ayah, dan Tama. Aku menangis karena masih saja keyakinan belum ada walau aku menjawab itu. Aku menangis karena masih ragu akan apa yang kujawab.. Aku menjawab itu karena aku takut membuat hati Ibu Tama kecewa.. Aku sendiri sekan tak sadar akan apa yang kujawab.
YA Allah... maafkan aku, aku tlah membohongi hati. Berilah petunjukmua YA Allah... Aku selalu menanti petunjuk Mu... Hatiku berdesir doa yang tak henti demi sebuah keyakinan.
Siang ini juga pak Sholeh tentukan tanggal pernikahan, Pak Sholeh ingin Minggu lagi langsung diadakan ijab qabul. Aku semakin kaget saja mendengarnya. Secepat itukah aku akan menikah dengan pria yang belum kukenal pribadinya.. Ya Allah... tunjukkan yang terbaik YA Allah... Aku benar mengambil keputusan apa aku salah aku semakin tak tahu akan apa yang kujawab. YA Allah... Aku mohon.. berilah aku setitik keyakinan... Mumpung undangan belum dibuat dan belum ijab qabul antaraku dan dai di depan penghulu dan para saksi. YA Allah.. bantu aku...
Ayah bertanya padaku, “Cah Ayu.. apa kamu siap nikah 2 minggu lagi???”
“Nitya terserah ayah saja, jika itu menurut ayah itu baik, Nitya manut saja sama ayah.” Aku menjawab dengan hati yang terus bulirkan tangis dan semakin sesakkan dadaku.
Aku berusah tegar akan apa yang tlah terjadi, apa yang aku jawab utamanya. Resikoku untuk menanggung keputusan yang tidak dari hati. Astaghfirullaahal’adziim... Maafkan aku YA Allah... Aku yang memberi hati tapi aku tak ikuti kata hati. Maafkan aku..
Aku juga kasihan kepada ayah yang semakin tua semakin resah pula melihatku di usia 24 tahun belum menikah. Karena mbakku dulu lulus S-1 langsung menikah di usia 22 tahunnya dengan teman yang sudah dekat selama 2 tahun selama kuliah dulu dan sekarang hidup bahagia dengan seorang putranya. Keresahan ayah mungkin salah satu penggerakku untuk iyakan semuanya.
Ya Allah... Aku pasrahkan pada Mu YA Allah... Aku pasrah.

***

Pernikahanku tinggal menghitung hari lagi. Aku teringat ucapan Tama saat ia menanti jawaban dariku. Ia sedikit berbisik padaku “makasih ya Nit... “ sembari senyum bahagia Tama ucapkan itu padaku. Aku tak bisa berkata pada saat itu. Hmmmh....

Aku ingin menikah cukup di masjid agung saja. Cukup disaksikan keluarga terdekat dan para sahabatku.
Ibu Tama tlah antarkan kebaya putih menjuntai bunga sepaket dengan jilbab plus aksesorisnya yang harus kukenakan 2 hari lagi. Ibu Tama juga sudah siapkan salon mana yang harus meriasku saat ijab qabul nanti.
Semakin dekat dengan tanggal nikah, semakin pula aku ragu. Hatiku meronta namun apalah dayaku... jika aku turuti hatiku, dan semisal aku lebih memilih Rama, aku juga tak tahu keberadaan Rama sekarang di mana. YA Allah... masih saja aku memikirkan lelaki lain padahal nikah sudah tinggal menunggu hari saja. Maafkan akau YA Allah...
Aku serasa masih simpan rasa untuk Rama, namun siap Rama??? Apa pantas aku memikirkannya??? Ya Allah.. aku tak tahu di mana Rama, bagaimana Rama sekarang. Aku hanya bisa mohon padaMu YA Allah... berikan petunjuk akan apa yang kurasa saat ini. Ijinkan aku berdoa untuk Rama, seseorang yang pernah kusuka namun tak kuungkapkan. Aku berdoa semoga dia bahagia. Amiin...

***
Seluruh saudara berkumpul di hari ini 1 September 2009. Semua tampakkan wajah senangnya karena gadis yang satu-satunya belum menikah dalam keluarga hari ini akan ijab qabul dengan seorang lelaki.
Tangis, senyum, tawa melebur dalam nuansa nikah pagi ini. Tepat pukul 9.00 WIBB ijab qabul dilaksanakan.
Aku duduk bersanding dengan Tama, penghulu pun mulai membaca basmalah dan mulai menyebutkan mahar. Kesediaan Tama pun terlontar disaksikan para saksi dan saudara serta sahabat. Dinding pilar masjidpun saksikan sahnya ijab qabul kami, mahar selamanya mahar yang turut menjadi saksi nikahku. Aku tak bisa menahan air mata yang tlah sampai di pelupuk mata. Kupejamkan mata dan meneteslah air mataku. Ketika kupejamkan mata, aku melihat bayang Rama... aku melihat bayangnya.. Namun, ketika kubuka mata, Rama hanyalah masa lalu. Rama tak kan datang kembali. Semua salahku,.. semua salahku.. tak mau turuti hati. YA Allah... inikah jalanku... inikah takdir dari MU YA Rabb... Sungguh Kau Pemilik Cinta, dan aku bertanya pada MU apakah ini cinta untukku dari MU???
YA Allah... apakah aku akan bisa melayani Tama dengan sepenuh hatiku?? Apakah bisa??? Tuntun aku ke jalan MU YA Rabb... Tuntun aku... Berikanlah aku kekuatan penuh cinta supaya aku tetap melayani Tama dengan cinta Mu.. dan tumbuhkan rasa cinta untuk suamiku seorang.. Suamiku ADYATMA MUHAMMAD. Laakhawla wa laa Quwwata Illaa billaah... Kembali kupejamkan mata dan berdoa semoga aku bisa jatuh cinta pada suamiku Tama.. Amiin...


Kotaku,10012010

1 komentar:

  1. assalamualaikum faiq...ingatkah denganku???tadi iseng2 buka blog...ada namamu...heheheh...aku anifah jogja...

    BalasHapus